Home  /  Berita  /  GoNews Group

Bahayakan Indonesia dan Bernuasa Pencitraan Pilpres 2024, Proposal Prabowo Soal Rusia-Ukraina Tak Masuk Akal!

Bahayakan Indonesia dan Bernuasa Pencitraan Pilpres 2024, Proposal Prabowo Soal Rusia-Ukraina Tak Masuk Akal!
Menteri Pertahanan Indonesia, Prabowo Subianto. (Foto: MI)
Senin, 05 Juni 2023 02:01 WIB
Penulis: Muslikhin Effendy

JAKARTA - Pemerintah Ukraina menolak proposal perdamaian yang diajukan oleh Menteri Pertahanan Indonesia, Prabowo Subianto, dalam acara IISS Shangri-La Dialogue di Singapura.

Menteri Pertahanan Ukraina, Oleksii Reznikov, menyatakan bahwa proposal perdamaian yang diajukan oleh Prabowo merugikan negaranya.

"Proposal ini terdengar seperti rencana Rusia, bukan rencana Indonesia. Kami tidak membutuhkan mediator dengan rencana aneh ini," kata Reznikov seperti dikutip oleh media Ukraina, Ukrinform.

Peneliti Studi Rusia dan Eropa Timur di Hubungan Internasional Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Radityo Dharmaputra, menyebut sikap Ukraina yang menolak proposal perdamaian dari Prabowo adalah hal yang wajar. Menurutnya, proposal tersebut tidak masuk akal.

"Mengapa proposal yang diajukan oleh Pak Prabowo langsung ditolak oleh Ukraina dan negara-negara Barat? Karena proposal tersebut tidak masuk akal, tidak mempertimbangkan kondisi saat ini di lapangan, tidak memperhatikan konteks sejarah dan politik di kawasan Eropa Timur, serta tidak sesuai dengan prinsip Indonesia sendiri," ujar Radityo seperti yang dikutip dari akun Twitter-nya, @RadityoDharmaP.

Radityo menjelaskan bahwa Prabowo mengusulkan lima hal, yaitu gencatan senjata, penarikan mundur pasukan Rusia dan Ukraina sejauh 15 kilometer dari posisi serangan masing-masing, pembuatan Zona Demiliterisasi (DMZ) di wilayah antara pasukan Rusia dan Ukraina, penugasan pasukan penjaga perdamaian dan pemantau PBB, serta referendum di wilayah sengketa.

Namun, Radityo menilai gencatan senjata hanya sebagai usulan semata. Tidak ada jaminan bahwa Rusia tidak akan terus menyerang. "Sejak awal perang, sudah ada banyak upaya gencatan senjata, terutama oleh Turki. Namun, tidak ada hasil yang signifikan!" ujarnya.

Ia juga menyoroti bahwa penarikan mundur pasukan sejauh 15 kilometer dan pembentukan DMZ sudah terlambat dilakukan. Ukraina saat ini memiliki keunggulan dalam situasi konflik. Bahkan, Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy baru saja menyatakan bahwa Ukraina siap melakukan serangan balik terhadap Rusia. Oleh karena itu, permintaan untuk berhenti dan mundur tidak masuk akal bagi Ukraina, tetapi hal ini masuk akal bagi Rusia yang sedang menghadapi krisis di wilayahnya sendiri.

Selain itu, Radityo mempertanyakan posisi DMZ yang didasarkan pada posisi serangan. Jika diasumsikan bahwa serangan terjadi di Belgorod dan merupakan serangan balik, maka sebagian wilayah DMZ akan berada di wilayah Rusia. Jika tidak, maka seluruh wilayah DMZ akan berada di wilayah Ukraina.

"Ukraina tentu tidak dapat menerima hal ini. Bagaimana mungkin negara agresor seperti Rusia diizinkan menginvasi dan diberi hadiah dengan menguasai sebagian wilayah yang diambil? Selain bertentangan dengan prinsip integritas wilayah, ini juga menjadi insentif bagi negara yang kuat," ujarnya.

Selain itu, Radityo menilai usulan referendum di wilayah sengketa sebagai hal yang sangat keliru. Menurutnya, tidak ada wilayah sengketa dalam perang antara Rusia dan Ukraina. Jika ada klaim bahwa wilayah yang dikuasai oleh Rusia adalah "wilayah sengketa", itu berarti memberikan hadiah kepada agresor. Apakah kita sedang berargumen bahwa negara yang kuat dapat menginvasi dan kemudian mengadakan referendum?

Radityo juga menyatakan bahwa proposal ini memiliki masalah teknis dan prinsip. Ia mempertanyakan posisi dan kepentingan Indonesia dalam proposal yang dibawa oleh Prabowo. Ia juga menilai proposal ini tidak menggambarkan Rusia sebagai agresor dan justru melemahkan posisi Ukraina. Proposal ini masih mencerminkan "great power" tetapi mencoba menjadi mediator dan netral.

Selain itu, proposal ini bias karena hanya didasarkan pada pengalaman Rusia dan Asia, tanpa mempertimbangkan trauma sejarah di Eropa Timur dan negara-negara bekas Uni Soviet. Imperialisme Rusia pada masa Soviet tidak diperhitungkan, dan Indonesia meminta Ukraina untuk duduk bersama bekas penjajahnya dengan sikap yang lapang dada.

Analoginya adalah meminta Ukraina untuk berdamai dengan Rusia tanpa jaminan keamanan, yang sama saja dengan meminta korban pemerkosaan untuk duduk dan berdamai dengan pelakunya. Ini bukan tindakan yang solidaritas dan empati, tetapi justru melakukan gaslighting pada korban (Ukraina) dengan mengatakan "ini demi kepentinganmu," ujar Radityo.

Radityo menambahkan bahwa proposal dari Prabowo seolah-olah mempertahankan argumen "might is right" dalam politik global dengan dalih "ini adalah realitasnya". Jika ini memang yang diinginkan, maka Indonesia harus siap ketika wilayah kita sendiri direbut dan kita harus menerima pembentukan DMZ dan referendum.

Lebih lanjut, ia menunjukkan bahwa ketidakjelasan dan kekurangan proposal yang ditawarkan oleh Prabowo menimbulkan pertanyaan tentang siapa yang sebenarnya menyusun proposal ini. Ia juga mempertanyakan apakah proposal ini telah dikonsultasikan dengan Presiden dan Kementerian Luar Negeri, atau apakah ini hanya sebatas "cek ombak".

"Apakah ini hanya upaya pembentukan citra menjelang Pemilu 2024? Terlebih lagi, sudah ada narasi 'berani' seperti yang terlihat dalam poster. Jika ini benar, maka kita berada dalam bahaya, karena harga yang harus dibayar adalah reputasi Indonesia di mata dunia," ujar Radityo.***

wwwwwwhttps://143.198.234.52/sonic77https://159.223.193.153/https://64.23.207.118/http://152.42.220.57/