Mengerikan, Ringgit Malaysia Babak Belur, Mirip Krisis Moneter 1998
Berdasarkan laporan Straits Times yang dilansir Bloomberg, Jumat (3/11/2023), per Oktober 2023 nilai tukar ringgit melemah hingga 8% menghadapi dolar AS. Tercatat pada posisi ringgit Malaysia berada di level 4,7607 per dolar AS, menjadikannya mata uang dengan kinerja terburuk di ASEAN.
Pada 1998, level terendah ringgit Malaysia pernah mencapai 4,8850 per dolar AS. Jika nilainya tertekan lebih dari itu, maka ringgit Malaysia masuk rekor terparah sepanjang sejarah.
Faktor utama pelemahan ringgit belakangan ini terjadi ketika permintaan dolar AS terus menguat akibat dorongan konflik Israel-Hamas. Nilai tukar dolar AS yang terus menguat ini tentu membuat mata uang lain seperti ringgit Malaysia kian melemah.
Belum lagi, keputusan Bank Negara Malaysia (BNM) untuk menghentikan kenaikan suku bunga sejak Juli kemarin juga menambah hambatan bagi penguatan ringgit. Sebab rendahnya suku bunga yang dipatok BNM membuat selisih suku bunga riil kian melebar sehingga tidak lagi menguntungkan.
"Para pembuat kebijakan menghadapi trade-off antara hambatan ekonomi akibat kenaikan suku bunga atau risiko tidak merespons dan membahayakan stabilitas makro dan ringgit," ungkap Kepala ekonomi dan strategi Mizuho Bank Ltd Singapura, Vishnu Varathan.
PM Malaysia Anwar Ibrahim Tak Ingin Bunga Naik
Meski nilai tukar ringgit Malaysia terus tertekan menghadapi dolar AS hingga mencapai titik terendah dalam 25 tahun terakhir, Perdana Menteri (PM) Malaysia Anwar Ibrahim mengaku tidak ingin memperkuat nilai ringgit dengan menaikkan suku bunga.
Berdasarkan laporan The Star, Anwar merasa kenaikan suku bunga belum diperlukan untuk mendukung ringgit. Alih-alih menaikkan nilai ringgit, ia memandang kenaikan suku bunga justru dapat merugikan UMKM.
"Indikator ekonomi seperti inflasi dan pengangguran menurun, sementara investasi meningkat, sehingga sulit untuk membenarkan kenaikan suku bunga yang dapat merugikan usaha kecil," ungkap Anwar.
Dengan begitu, suku bunga yang ditetapkan BNM masih tetap di angka 3% sejak Juli lalu, menjadikannya rekor 'diskon' dibandingkan dengan suku bunga Federal Reserve AS.
"Ada pandangan di kalangan ekonom untuk memperkuat nilai ringgit melalui kenaikan OPR (Suku bunga di Malaysia). Tapi untuk alasan apa?" kata Anwar.
"Kami hanya akan menaikkannya ketika perekonomian membutuhkannya. Saat ini hal itu tidak diperlukan," tegasnya lagi.
Alih-alih menaikkan suku bunga, Anwar menyarankan solusi jangka menengah dan panjang adalah dengan memisahkan diri dari dolar AS alias dedolarisasi. Untuk itu negaranya akan lebih banyak mencari mitra dagang yang mau menerima pembayaran dalam ringgit.
Sejauh ini Malaysia sudah melakukan perdagangan dengan mata uang lokal bersama Indonesia, China, dan Thailand. China merupakan mitra dagang nomor satu Malaysia, sedangkan Indonesia adalah mitra dagang terbesar kelima dan Thailand pada peringkat ketujuh.
"Kami juga telah berdiskusi dengan negara-negara Arab untuk memulai proses dedolarisasi, namun kami hanya berhasil dengan tiga negara sebagai solusi jangka panjang untuk mempertahankan ringgit," kata Anwar. ***
Editor | : | Hermanto Ansam |
Sumber | : | detik.com |
Kategori | : | Internasional, Ekonomi |