Home  /  Berita  /  Kesehatan

Berhitung Kebutuhan Dana dan Strategi dalam Masa Pembatasan Sosial Covid-19, untuk Penyelamatan Kebutuhan Pangan Pokok Masyarakat

Berhitung Kebutuhan Dana dan Strategi dalam Masa Pembatasan Sosial Covid-19, untuk Penyelamatan Kebutuhan Pangan Pokok Masyarakat
Firmansyah, S.E., M.Si., Ph.D
Jum'at, 01 Mei 2020 22:15 WIB
Penulis: Firmansyah, S.E., M.Si., Ph.D

DALAM rangka mencegah meluasnya kasus positif baru Covid-19, beberapa Pemda melakukan PSBB, seperti kota Pekanbaru di Riau. Beberapa daerah melakukan pembatasan sosial yang lebih ketat dari model sebelumnya, seperti Kota Semarang di Jawa Tengah. Kebijakan kesehatan untuk mencegah dan menghentikan penyebaran virus penyakit COVID-19 ini berdampak pada makin tertekannya kegiatan ekonomi masyarakat. Dampak ekonomi mau tidak mau harus dipikul dan diatasi, karena jika tidak, maka tujuan pencegahan penularan Covid-19 yang diharapkan dari pembatasan sosial tidak akan optimal.

Tindakan penyelamatan ekonomi penting untuk dilakukan segera agar tidak menimbulkan persoalan berat lainnya. Tekanan ekonomi yang tinggi dapat menimbulkan keresahan bahkan kerusuhan sosial. Persoalan ekonomi yang sudah terjadi dalam masa pembatasan sosial adalah banyak pekerja yang mengalami PHK dan banyak usaha masyarakat terhenti atau tutup sehingga tidak dapat menghasilkan pendapatan lagi. Artinya mereka yang terdampak ini tidak lagi memiliki daya beli, dan jumlah golongan ini  banyak dan lebih besar lagi dengan ditambah keluarga pra sejahtera yang sebelum Covin-19 sudah ada.

Strategi ekonomi yang utama pada masa kebijakan kesehatan ini adalah penyediaan pangan dasar bagi masyarakat (lihat tulisan saya tentang strategi ketahanan ekonomi masyarakat terkait dampak ekonomi Cavid-19 di Opini GoRiau.com tanggal 21 April 2020). Idealnya jaminan kecukupan pangan adalah untuk semua masyarakat, bagi yang pra sejahtera sampai yang sejahtera, karena permasalahan dapat meluas tidak hanya persoalan daya beli, namun juga ketersediaan barang. Tentu saja penyediaan pangan tersebut memerlukan dana. Seberapa besar kebutuhan dana tersebut dan bagaimana strategi pemenuhannya oleh Pemda dan masyarakat, akan dibahas di tulisan ini. Tulisan ini tidak secara khusus membahas bagaimana Pemda mengolah APBD-nya untuk penyediaan anggaran untuk dana ini. Tulisan ini juga tidak membahas aspek kesehatan yaitu pencegahan maupun pengobatan penyakit Covid-19.

Simulasi kebutuhan dana pangan di Kabupaten Bengkalis sebagai contoh.

Skenario 1, menghitung dana untuk semua masyarakat se-Kabupaten Bengkalis dengan asumsi UMK 2020. Umpamanya waktu pembatasan sosial yang dilakukan adalah 3 bulan. Berdasarkan data pada Bengkalis Dalam Angka 2020 yang dipublikasikan BPS, penduduk kabupaten Bengkalis pada akhir tahun 2019 adalah 573.003 orang, atau sejumlah 132.337 keluarga (anggota rata-rata terdiri dari 4 orang per keluarga). Dengan anggapan bahwa jumlah penduduk masih sama, dan jika satu keluarga memerlukan 3,26 juta rupiah (sebesar UMK Kabupaten tahun 2020) per bulan untuk membeli pangan, seluruh keluarga di kabupaten Bengkalis memerlukan dana sebesar 438 miliar rupiah per bulan. Untuk kebutuhan 3 bulan diperlukan dana sebesar 1,314 trilyun rupiah.

Skenario 2, menghitung dana untuk semua masyarakat dengan asumsi kebutuhan senilai di bawah UMK. Dengan periode yang sama yaitu 3 bulan dan jika belanja kebutuhan pangan pokok lebih rendah dari nilai UMK. Misalnya diasumsikan 1 keluarga cukup 2,5 juta sebulan untuk membeli pangan, maka untuk semua keluarga sebulan perlu 336 milyar rupiah, dan 3 bulan perlu 1,007 trilyun rupiah. Dana ini tidak akan sebesar angka tersebut jika pemenuhan kebutuhan pokok di bawah 2,5 juta rupiah per keluarga.

Skenario 3, yaitu pemenuhan sendiri kebutuhan pokok masyarakat oleh sebagian masyarakat yang mampu. Kebutuhan dana dapat lebih rendah secara signifikan dari 2 skenario di atas, jika sebagian masyarakat tidak perlu diberikan bantuan pangan karena sudah dapat memenuhi sendiri. Kelompok ini bahkan dapat membantu tetangganya yang mengalami kesulitan. Dari data Bengkalis Dalam Angka 2020 diketahui bahwa orang miskin di Kabupaten Bengkalis mencapai 35.830 orang pada tahun 2019 (setara 8.958 keluarga). Artinya orang yang tidak miskin berjumlah 537.173, atau setara 134.283 keluarga. Namun keluarga ini juga rentan untuk jatuh miskin karena dampak wabah Covid-19. Anggap hanya 30 persen dari keluarga ini yang masih belum terdampak Covid-19, berarti jumlah masyarakat yang harus mendapatkan bantuan kebutuhan pokok adalah keluarga miskin dan kelarga yang terdampak Covid-19, yaitu atau setara dengan 102.856 keluarga. Dengan menggunakan besaran 1,5 juta perbulan per keluarga, maka dana untuk kebutuhan pokok yang diperlukan per bulan untuk semua keluarga terdampak adalah 154,284 milyar rupiah, dan 3 bulan memerlukan dana 462,852 milyar rupiah. Dana ini tentu lebih rendah jika keluarga yang masih tergolong sejahtera lebih banyak dari asumsi.

Skenario gabungan bantuan pemerintah provinsi dan pemerintah pusat dengan pemerintah kabupaten.

Skenario ini adalah skenario 4. Dalam masa Covid-19 ini, tentu pemerintah pusat dan pemerintah provinsi bahu-membahu bersama pemerintah kabupaten dalam mengatasi dampak ekonomi Covid-19. Berbagai bantuan baik tunai maupun non tunai dapat dimanfaatkan oleh masyarakat.

Pemerintah pusat menyediakan dana 405,1 trilyun rupiah untuk pandemi Covid-19, dengan rincian 75T untuk kesehatan (pengadaan APD, alat kesehatan dan obat-obatan), 70T untuk stimulus industri (stimulus fiskal, dan penundaan pembayaran KUR). Sejumlah 110T untuk bantuan sosial untuk 10 juta keluarga harapan (PKH), 20 juta keluarga penerima Kartu Sembako, 9 juta keluarga penerima bantuan langsung tunai (BLT), 2,1 juta keluarga penerima bantuan sembako, 21,3 juta keluarga menerima BLT Desa yang merupakan realokasi dana desa, dan 5,6 juta peserta kartu pra kerja. Di samping itu ada diskon listrik, dan lain-lain. Sementara Pemprov Riau juga memberikan bantuan sosial seperti 300 ribu rupiah per keluarga terdampak per bulan (lihat GoRiau.com, 16 april 2020) dan ada kemungkinan bantuan lain dari Provinsi.

Pada skenario ini tentu saja dana yang dibutuhkan tidak sebesar Skenario 3. Pada skenario ini tentu saja keluarga terdampak atau keluarga pra sejahtera yang sudah mendapatkan bantuan dari Pemerintah Pusat dan Pemprov tidak perlu mendapat bantuan penuh lagi dari Pemkab. Pemkab melengkapi bantuan-bantuan ini, jika masih kurang dicukupi, dan yang belum dapat diberikan sama besar. Akan tetapi, keakuratan data adalah kunci, jangan sampai ada keluarga yang malah tidak mendapatkan dana sama sekali karena kesalahan data. Data ini menjadi sumber hitungan seberapa besar kebutuhan yang tidak tercover dari bantuan Pemerintah Pusat dan Pemrov tersebut yang bisa dipenuhi oleh Pemkab dan masyarakat Kabupaten Bengkalis sendiri.

 

Strategi penyediaan dana dan penyelamatan kebutuhan pangan rakyat

Idealnya semua dana ditanggung pemerintah melalui APBD yang ada. Sebagai perbandingan, anggaran belanja Pemkab Bengkalis selama satu tahun 2020 direncanakan sebesar 3,8 trilyun rupiah (lihat GoRiau.com tanggal 25 November 2019). Artinya, jika semua kebutuhan dana itu dari Skenario 1 sampai Skenario 4 tersebut ditanggung oleh Pemkab, maka anggaran belanja cukup. Namun, tentunya ada pertimbangan lain yang tidak dapat dikesampingkan, bahwa APBD juga digunakan untuk belanja keperluan lain yang juga penting sampai akhir tahun ini, seperti untuk kesehatan, gaji pegawai, dan lainnya dan mungkin sulit untuk diganggu-gugat (digeser peruntukkannya). Selain itu juga nanti akan diperlukan keleluasaan anggaran untuk pemulihan ekonomi pasca wabah Covid-19 berakhir. Artinya jika berandai-andai, sangat cukuplah dana-dana pemerintah ini, terutama berdasarkan Skenario 4.

Pemkab perlu menghitung secara rinci dengan cepat kebutuhan pangan ini. Juga data yang akurat penerima bantuan pemerintah adalah kunci; siapa, berapa besar, dan berapa lama bantuan ini diberikan. Jika tidak, anggaran yang disalurkan akan dapat menjadi tumpang tindih. Keseriusan diperlukan dalam hal ini. Kunci koordinasi data dan sistem ada pada Pemkab. Strategi lapangan dapat melibatkan masyarakat sebagai garda depan. Keterlibatan golongan mampu selama ini yang dapat memberikan bansos kepada golongan masyarakat lainnya, dapat dimanfaatkan. Asal tersistem, semua mudah dihitung.

Pemenuhan pangan rakyat yang melibatkan rakyat itu sendiri dan bersifat kepada penyediaan barang adalah lumbung pangan. Ini dapat menjadi alternatif terbaik untuk ketahanan pangan masyarakat selama masa Covid-19. Lumbung pangan ini semacam tempat persediaan pangan yang dikelola masyarakat bukan individu. Masyarakat bisa berswadaya untuk mengisi lumbung lebih awal, dan ini dapat meringankan beban anggaran Pemkab. Bansos pemkab, pemprov atau pemerintah pusat dapat disalurkan lewat lumbung. Pada saat krisis, lumbung ini akan mencegah harga melambung. Gerakan ini penting mengingat Kabupaten bengkalis dan Riau secara keseluruhan bukan penghasil pangan, sehingga persoalan ketersediaan harus diatasi lebih dahulu dan melakukan pembelian barang sebelum harga-harga melonjak dan barang langka di pasar.

Lumbung dapat didirikan di kelurahan atau desa atau RW, memanfaatkan gedung pertemuan atau dapat dibangun dengan proyek padat karya dana desa (membuat kegiatan yang dapat menyerap tenaga kerja desa dan yang terkena PHK).  Pelibatan TNI dan Polri dapat dilakukan untuk distribusi barang dan kemanannya. Lumbung ini mendekatkan barang di depan mata masyarakat, akan mencegah kehiruk-pikukan atau kegagalan distribusi barang pada saat diperlukan, dan tentu saja mencegah kenaikan harga yang signifikan. Keunggulan lain, mengurangi arus hilir mudik warga dalam mengakses pangan antar wilayah sehingga penularan Covid-19 bisa dicegah.

Sistem pengelolaan lumbung ini dapat diserahkan kepada masyarakat. Masyarakat setempat juga sangat mengetahui bagaimana pemenuhan kebutuhan pangan di lingkungannya. Pemkab tinggal membuat sistem yang umum dan melakukan koordinasi-koordinasi yang diperlukan.

Bagaimana jika masyarakat terdampak menerima bantuan pemerintah dalam bentuk uang tunai? Pengelola lumbung dapat bekerjasama dengan Dolog dan Pemkab, yang dapat menitipkan bahan pangan untuk dijual ke penerima bantuan tunai tersebut. Model ini juga merupakan kombinasi antara lumbung dan pasar murah, yang langsung berada di dekat rakyat.

Bagaimana jika tidak ada dampak pada akses pangan seperti yang diperkirakan? Pengembangan potensi ekonomi baru bisa muncul dari sini. Bisa dibentuk dan bermetamorfosis menjadi koperasi ritel, yang basisnya kegotongroyongan dan beranggotakan masyarakat setempat. Penyumbang pada masa pandemi dapat dihitung sebagai pemodal. ***

* Penulis adalah Dosen pada Fakultas Ekonomika dan Bisnis, Universitas Diponegoro

Kategori:Opini, Kesehatan
wwwwwwhttps://143.198.234.52/sonic77https://159.223.193.153/https://64.23.207.118/http://152.42.220.57/